UU ITE Indonesia
Hal-hal yang diatur dalam UU ITE secara garis besar
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
– Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan
e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas
batas).
– Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
– UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia
yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
– Pengaturan nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan sebagai berikut :
– Pasal 27
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/
atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan”.
Ancaman pidana pasal 45 (1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milar rupiah).
– Pasal 28
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan indivudu
dan/atau ras kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
– Pasal 29
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (cyber stalking)”.
Ancaman pidana pasal 45 (3) :
“Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
– Pasal 30
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses komputer dan/atau system elektronik dengan cara apapun, dengan
melanggar, menerobos melampaui, atau menjebol system pengamanan
(cracking, hacking, illegal access).”
Ancaman pidana pasal 46 ayat (3)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal
30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahundan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).”
– Pasal 31
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik orang lain.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas Transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat public dari ke dan dalam suatu
komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan dan/atau penghentian Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3)Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksanaan dan/atau intuisi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintahan
– Pasal 32
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum dengan
cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik
public.
(2)Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh public
dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
– Pasal 33
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan tindakan apapun yang berakibat tergangguanya system elektronik
dan/atau mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja
sebagaimana mestinya”.
– Pasal 35
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut seolah-olah
data yang otentik (Phising=penipuan situs)”.
UU ITE sebagai payung hukum
Hampir semua aktivitas cyber crime membutuhkan aktivitas lainnya
untuk melancarkan aktivitas yang dituju. Karena itu UU ITE harus mampu
mencakupi semua peraturan terhadap aktivitas-aktivitas cyber crime. Dan
seharusnya masyarakat dapat diperkenalkan lebih lanjut mengenai UUD ITE
supaya masyarakat tidak rancu lagi mengenai tata tertib mengenai
cyberlaw ini dan membantu mengurangi kegiatan cyber crime di Indonesia.
Isi UU ITE yang membahayakan kebebasan pendapat pengguna onlline.
Pasal dalam Undang-Undang ITE pada awalnya kebutuhan akan cyner law di
Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi
perdaganganyang terjadi lewat dunia maya. Dan dalam perkembangannya, UU
ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh
tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk
perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content. Yang
jelas, dengan adanya UU ITE ini, sudah ada payung hukum di dunia maya.
Secara umum dijelaskan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
Kontroversi yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE
- UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kretivitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai ertikelen). Karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Tambahan lagi, dalam konteks pidana ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digubakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal ini masih dipermasalahkan oleh sebagian blogger Indonesia.
- Belum ada pembahasan tentang spamming.
- Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
- Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya? Ini sejalan dengan kontoversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
- Ada masalah yuridiksi hukum yang belum sempurrna. Ada suatu pengandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar