Sabtu, 17 Oktober 2015

UU ITE Indonesia

UU ITE Indonesia

Hal-hal yang diatur dalam UU ITE secara garis besar
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
– Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
–  Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
–  UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
– Pengaturan nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan sebagai berikut :
– Pasal 27
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Ancaman pidana pasal 45 (1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milar rupiah).
– Pasal 28
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan indivudu dan/atau ras kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
– Pasal 29
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (cyber stalking)”.
 Ancaman pidana pasal 45 (3) :
“Setiap orang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
– Pasal 30
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau system elektronik dengan cara apapun, dengan melanggar, menerobos melampaui, atau menjebol system pengamanan (cracking, hacking, illegal access).”
 Ancaman pidana pasal 46 ayat (3)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahundan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
– Pasal 31
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.
(2)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas Transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat public dari ke dan dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3)Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksanaan dan/atau intuisi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintahan
– Pasal 32
(1)Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik public.
(2)Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh public dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
– Pasal 33
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat tergangguanya system elektronik dan/atau mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”.
– Pasal 35
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut seolah-olah data yang otentik (Phising=penipuan situs)”.
UU ITE sebagai payung hukum
Hampir semua aktivitas cyber crime membutuhkan aktivitas lainnya untuk melancarkan aktivitas yang dituju. Karena itu UU ITE harus mampu mencakupi semua peraturan terhadap aktivitas-aktivitas cyber crime. Dan seharusnya masyarakat dapat diperkenalkan lebih lanjut mengenai UUD ITE supaya masyarakat tidak rancu lagi mengenai tata tertib mengenai cyberlaw ini dan membantu mengurangi kegiatan cyber crime di Indonesia.
Isi UU ITE yang membahayakan kebebasan pendapat pengguna onlline. Pasal dalam Undang-Undang ITE pada awalnya kebutuhan akan cyner law di Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdaganganyang terjadi lewat dunia maya. Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content. Yang jelas, dengan adanya UU ITE ini, sudah ada payung hukum di dunia maya. Secara umum dijelaskan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kontroversi yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE
  1. UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kretivitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai ertikelen). Karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Tambahan lagi, dalam konteks pidana ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digubakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal ini masih dipermasalahkan oleh sebagian blogger Indonesia.
  2. Belum ada pembahasan tentang spamming.
  3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
  4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya? Ini sejalan dengan kontoversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
  5. Ada masalah yuridiksi hukum yang belum sempurrna. Ada suatu pengandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar